ETIKA KEILMUAN
Seperti yang telah kita ketahui bahwa
ilmu pengetahuan bukanlah pengetahuan yang datang dengan sendirinya
seperti barang yang sudah jadi, karena ilmu pengetahuan memiliki suatu cara
pemikiran yang khusus dengan pendekatan yang khas sehingga menghasilkan
pengetahuan yang dapat dibagi, diuji dan dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Dan dalam dunia keilmuan juga mempunyai etika tersendiri untuk memperolehnya.
Setiap aspek
kehidupan memiliki etika yang harus ditaati, demikian pula dalam kehidupan
ilmiah memiliki etika yang biasa disebut dengan nama ”etika keilmuan” yang
mencakup tentang nilai-nilai yang baik maupun yang buruk, dan mengenai hak
serta kewajiban bagi seorang ilmuwan atau mahasiswa. Oleh karena itu kami
menyusun makalah ini agar kita mampu memahami tentang etika keilmuan dan
menerapkannya dalam kehidupan sosial terutama bagi kita sebagai seorang
mahasiswa yang diharuskan mampu memahami dan menerapkan suatu ilmu dengan
tepat.
1. 1. Etika
Keilmuwan
Istilah etika keilmuwan mengantarkan
kita pada kontemplasi mendalam, baik mengenai hakekat, proses pembentukan,
lembaga yang memproduksi ilmu lingkungan yang kondusif dalam pengembangan ilmu,
maupun moralitas dalam memperoleh dan mendayagunakan ilmu tersebut. Oleh karena
itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan.
1. A. Etika
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) edisi ketiga (2005:309), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral. Moral yang dimaksudkan di
sini adalah akhlak, yakni budi pekerti atau kelakuan makhluk hidup. itu dengan
kata lain disebutkan bahwa etika itu membahas tentang perilaku menuju kehidupan
yang baik, yang di dalamnya ada aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan
sebagainya.
Dapat diketahui bahwa persoalan etika
tidak terlepas dari pengetahuan tentang manusia sebagai makhluk hidup yang
sempurna. Jika kembali kepada kata muasalnya, etika berasal dari bahasa Yunani;
ethos, yang artinya kebiasaan, perbuatan atau tingkah laku manusia tetapi bukan
adat, melainkan adab
1. B. Moral
Kata moral identik dengan suatu
tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada pengertian mengenai
baik-buruk. Berbicara tentang moral seseorang sama dengan membicarakan tentang
kepribadian seseorang yang dimaksud. Karena itu, sesungguhnya moral telah
membuat posisi manusia berbeda atau lebih sempurna daripada makhluk Tuhan
lainnya.
KBBI membuat dua pandangan tentang
pengertian moral. Pertama, sebagai ajaran tentang baik-buruk yang diterima
akibat perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya oleh manusia. Kedua, kondisi
mental yang mebuat orang tetap berani, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya, yang
berpangkal pada isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam
perbuatan (KBBI, 2005:6-7).
1. C. Norma
Norma adalah aturan atau ketentuan yang
mengikat kelompok warga di dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan,
dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima. Norma juga dapat
disebutkan sebagai ukuran atau kaidah yang menjadi tolok ukur untuk menilai
atau memperbandingkan sesuatu .Misalnya, setiap masyarakat harus menaati suatu
tata tertib yang berlaku.
1. D. Kesusilaan
Kesusilaan atau susila merupakan bagian
kecil dari norma sehingga kita mengenal nama norma susila, yaitu aturan yang
menata tindakan manusia dalam pergaulan sosial sehari-hari, seperti pergaulan
antara pria dan wanita. Kesusilaan dapat pula menjadi bagian dari adab dan
sopan santun.
Di samping empat hal di atas, tinjauan
filsafat juga mesti memiliki estetika, yakni mengenai keindahan dan
implementasinya dalam kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori
mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.
1. 2. Problem
etika ilmu pengetahuan
Problem adalah suatu masalah, kendala
atau persoalan yang harus dipecahkan dengan kata lain problematika merupakan
kesenjangan antara kenyataan dengan suatau yang diharapkan dengan baik, agar
tercapai tujuan dengan hasil yang maksimal
Disini Etika memang tidak masuk dalam
kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia
berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan. Tanggung jawab etis, merupakan
hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan
hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia,
menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum,
kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal. karena pada
dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi
manusia bukan untuk menghancurkannya. Tanggungjawab etis ini bukanlah
berkehendak mencampuri atau bahkan “menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan,
tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu
sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh eksistensi manusia.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak
dapat dan tidak perlu dicegah perkembangannya, karena sudah kodratnya manusia
ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi
kalau melihat kenyataan bahwa manusia sekarang hidup dalam kondisi
sosio-teknik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu pengetahuan –
berbentuk teknologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan
manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga
seolah-olah sekarang ini teknologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya.
Selain daripada itu, meskipun ilmu
pengetahuan dengan penerapan praksisnya sukar sekali dipisahkan, tetapi jelas
karena sudah menyangkut relasi antar manusia yang bersifat nyata, dan bukan
sekedar perbincangan teoritik harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu
pengetahuan dan penerapannya yang berupa teknologi apabila tidak tepat
dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia akan
dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada yang diuntungkan dan ada yang
dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat manusia justru
direndahkan dengan menjadi budak teknologi, kerisauan sosial yang mungkin
sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya tingkat
kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, pelacuran dan
sebagainya. Terjadi pula fenomena depersonalisasi, dehumanisasi, karena manusia
kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual. Bahkan dapat memicu
konflik-konflik sosial-politik, karena menguasai ilmu pengetahuan (teknologi)
dapat memperkuat posisi politik atau sebaliknya orang yang berebut posisi
politik agar dapat menguasai aset ilmu dan teknologi. Semuanya mengisyaratkan
pentingnya etika yang mengatur keseimbangan antar ilmu pengetahuan dengan
manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara industriawan selaku produsen
dengan konsumen.
Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya
berguna dalam dua hal yaitu membuat manusia rendah hati karena memberikan
kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan
masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak
mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari keterbatasannya. Ilmu
pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah manusia secara mutlak, namun ilmu
pengetahuan sangat bergua bagi manusia.
Keterbatasan ilmu pengetahuan
mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya mengekor secara membabi buta
kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup
dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini. Keterbatasan ilmu
pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk merenungkan adanya
sesuatu sebagai pegangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan
demikian, memerlukan visi moral yang tepat. Manusia dengan ilmu pengetahuan
akan mampu untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, namun pertimbangan tidak
hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat” olehnya tetapi perlu pertimbangan
“apakah memang harus diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat” dalam rangka
kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya mengupayakan rumusan konsep etika
dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada rumusan normatif yang berupa pedoman
pengarah konkret, bagaimana keputusan tindakan manusia dibidang ilmu
pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering dipandang banyak orang sebagai
konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus diterapkan begitu
saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas permasalahan manusia yang
bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa
rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan kriteria-kriteria baik
buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai dengan daerah
yang ditanganinya.
Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan,
ilmu dan etika saling bertautan. Tidak ada pengetahuan yang pada akhirnya tidak
terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu baik atau jahat”. “Apa” yang dikejar
oleh pengetahuan, menjelma menjadi “Bagaimana” dari etika. Etika dalam hal ini
dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang memperbincangkan bagaimana
teknik yang mengelola kelakuan manusia. Dengan demikian lapangan yang dinilai
oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari perorangan, mengenai
yang halal dan yang haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu etika makro yang
mampu merencanakan masyarakat sedemikian rupa sehingga manusia dapat belajar
mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya sendiri.
Terkait dengan keterbukaan yang
disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut peraturan-peraturan yang tidak
pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan pertanyaan, bagaimana
manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil teknologi moderen dan
rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan kemampuannya
menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar memberikan isyarat
dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa aktual dan
faktual manusia, sehingga terjadi hubungan timbal balik dengan apa yang
sebenarnya terjadi.
1. 3. Ilmu:
Bebas Nilai dan Tidak Bebas Nilai
Ilmu pengetahuan yang dikatakan bebas
nilai adalah pada pandangan bahwa ilmu itu berkembang tanpa merujuk pada suatu
hukum atau sistem tertentu. Beda dengan teknologi. Karena teknologi lahir atas
dasar penciptaan manusia, ia terikat oleh suatu aturan atau sistem, terikat
juga dengan selera pasar dan perundang-undangan. Namun, bagaimana mengetahui
tentang teknologi, tak diikat oleh undang-undang apa pun. Allah swt. sendiri
berfirman untuk memberikan kebebasan bagi hamba-Nya menjelajahi seluruh jagat
raya, di bumi dan di langit, yang semua itu hanya bisa dilakukan dengan ilmu.
Akan tetapi, jika kita mengacu kepada
pengertian yang ditulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dikatakan ilmu
adalah:
“Pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di dalam bidang (pengetahuan) tersebut.” (KBBI,
2005:423)
Dengan pengertian yang diberikan oleh
KBBI tercermin bahwa sebuah ilmu mesti memiliki sistemik dan sistematis
sehingga terkesan ada hal yang mengingkatnya sebagai suatu nilai.
1. 4. Sikap
Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan
Sikap dan perilaku sangat penting dalam
kehidupan. Setiap tingkah laku, dan perilaku seseorang akan menjadi tolok ukur
tentang kepribadian seseorang tersebut. Oleh karena itu, seorang ilmuwan mesti
memiliki sikap ilmiah yang mencerminkan dirinya sebagai ilmuwan. Sikap dimaksud
bisa berupa rendah diri, tidak sombong atau angkuh, dan selalu menghargai orang
lain. Karenanya, seorang yang memiliki ilmu dan sikap yang baik cenderung
dikaitkan dengan padi atau kepada seseorang yang memiliki ilmu akan diminta
untuk memiliki “ilmu padi” semakin merunduk semakin berisi.
Sikap ilmiah diharapkan dimiliki oleh
seorang ilmuwan sebab sesuai dengan pengertiannya bahwa ilmuwan adalah orang
yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu. Ilmuwan dapat pula
dikatakan kepada orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan.
Kaitannya dalam pembahasan ini, sikap
ilmiah dimaksudkan bagi seorang ilmuwan adalah memiliki dan memahami etika,
moral, norma, dan kesusialaan.
Diederich mengidentifikasikan 20
komponen sikap ilmiah sebagai berikut :
a. Selalu meragukan sesuatu.
b. Percaya akan kemungkinan penyelesaian masalah.
c. Selalu menginginkan adanya verifikasi eksprimental.
d. Tekun.
e. Suka pada sesuatu yang baru.
f. Mudah mengubah pendapat atau opini.
g. Loyal terrhadap kebenaran.
h. Objektif
i. Enggan mempercayai takhyul.
j. Menyukai penjelasan ilmiah.
k. Selalu berusaha melengkapi penegathuan yang dimilikinya.
l. Dapat membedakan antara hipotesis dan solusi.
m. Menyadari perlunya asumsi.
n. Pendapatnya bersifat fundamental.
o. Menghargai struktur teoritis
p. Menghargai kuantifikasi
q. Dapat menerima penegrtian kebolehjadian dan,
r. Dapat menerima pengertian generalisasi
a. Selalu meragukan sesuatu.
b. Percaya akan kemungkinan penyelesaian masalah.
c. Selalu menginginkan adanya verifikasi eksprimental.
d. Tekun.
e. Suka pada sesuatu yang baru.
f. Mudah mengubah pendapat atau opini.
g. Loyal terrhadap kebenaran.
h. Objektif
i. Enggan mempercayai takhyul.
j. Menyukai penjelasan ilmiah.
k. Selalu berusaha melengkapi penegathuan yang dimilikinya.
l. Dapat membedakan antara hipotesis dan solusi.
m. Menyadari perlunya asumsi.
n. Pendapatnya bersifat fundamental.
o. Menghargai struktur teoritis
p. Menghargai kuantifikasi
q. Dapat menerima penegrtian kebolehjadian dan,
r. Dapat menerima pengertian generalisasi
Ulasan :
Jadi sebagai manusia yang selalu menuntut ilmu kita harus kita harus menjalankan etika keilmuan, yakni etika, moral, norma, kesusilaan, dan estetika. Sikap-sikap ini akan mencerminkan kepribadian seorang yang baik. Jadi sebagai mahasiswa dan pelajar harus mempraktikannya.
Jadi sebagai manusia yang selalu menuntut ilmu kita harus kita harus menjalankan etika keilmuan, yakni etika, moral, norma, kesusilaan, dan estetika. Sikap-sikap ini akan mencerminkan kepribadian seorang yang baik. Jadi sebagai mahasiswa dan pelajar harus mempraktikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar